Polda NTB Tindaklanjuti Laporan Dugaan Pelecehan Mahasiswi UIN
20 May 2025 - 10:54 WITA
tribratanews.ntb.polri.go.id. – Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat (Polda NTB) menindaklanjuti laporan dugaan pelecehan seksual yang menimpa sejumlah mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirreskrimum) Polda NTB, Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Syarif Hidayat S.I.K., menyatakan pihaknya telah mulai proses penyelidikan atas kasus yang menyeret salah satu dosen sebagai terlapor.
“Iya, kami akan tindak lanjuti laporan dengan melakukan penyelidikan,” ujar Kombes Pol. Syarif Hidayat dalam keterangannya, Selasa (20/05) malam ini .
Laporan tersebut disampaikan secara resmi oleh para korban dengan pendampingan dari tim Koalisi Stop Kekerasan Seksual (KSKS) NTB pada Selasa sore. Hingga pukul 20.00 WITA, pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan intensif terhadap korban yang datang langsung untuk memberikan keterangan.
Disebutkan, ada dua orang korban yang bertindak sebagai pelapor dan satu orang saksi yang turut memberikan keterangan di hadapan penyidik Subdirektorat Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Ditreskrimum Polda NTB.
“Jadi, korban yang lapor bukan tiga, melainkan dua. Yang satunya lagi saksi,” jelas Kombes Pol. Syarif.
Sementara itu, perwakilan KSKS NTB, Joko Jumadi, yang turut mendampingi para korban dalam proses pelaporan menyatakan bahwa dugaan pelecehan dilakukan oleh seorang dosen UIN Mataram yang menjabat sebagai kepala asrama putri.
Joko menambahkan, berdasarkan hasil pendataan timnya, terdapat tujuh mahasiswi yang menjadi korban dari dugaan tindakan tidak senonoh tersebut. Namun, hanya lima orang yang bersedia memberikan kesaksian secara langsung kepada aparat penegak hukum.
“Peristiwa ini terjadi sejak 2021 hingga 2024. Kejadiannya berlangsung pada malam hari, dan semua berlokasi di Asrama Putri UIN Mataram,” ujar Joko.
Diduga pelaku memanfaatkan posisinya sebagai kepala asrama untuk melakukan tindakan amoral dengan dalih kekuasaan administratif. Banyak korban yang tidak berani melawan karena takut dengan ancaman pencabutan beasiswa.
“Sebagian besar korban adalah penerima beasiswa Bidikmisi. Ancaman seperti pencabutan beasiswa membuat mereka takut dan memilih menuruti pelaku,” tandas Joko.