Komnas HAM dan Polda NTB Bahas Serius Dugaan Kekerasan di Dua Ponpes Mataram
01 May 2025 - 7:11 WITA
tribratanews.ntb.polri.go.id.–Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia mengambil langkah tegas menyusul mencuatnya dua kasus pelanggaran HAM yang terjadi di lingkungan pondok pesantren (ponpes) di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Dalam rapat koordinasi khusus yang berlangsung tertutup di Ruang Presisi Polda NTB, Rabu (30/4), Ketua Komnas HAM Dr. Atnike Nova Sigiro memimpin langsung jalannya pembahasan serius bersama jajaran kepolisian daerah.
Dua kasus yang menjadi sorotan meliputi dugaan penganiayaan hingga menyebabkan kematian santriwati di Ponpes Aziziyah, Gunungsari, serta dugaan pelecehan seksual dan persetubuhan terhadap santriwati di Ponpes Nabi Nubu, Kekait.
Kedua peristiwa memilukan ini menjadi perhatian nasional setelah viral di media sosial. Gelombang empati dan kemarahan publik mendorong Komnas HAM bertindak cepat. Dr. Atnike menyebut kasus ini sebagai “dua luka kemanusiaan yang tak bisa dibiarkan berlalu tanpa keadilan.”
“Kami tidak ingin kasus-kasus ini berhenti pada satu pelaku atau satu peristiwa. Harus ada penyidikan menyeluruh dan pemulihan hak-hak korban,” tegasnya.
Dalam kasus penganiayaan di Ponpes Aziziyah, penyidikan belum dapat dilakukan secara optimal. Menurut Kasat Reskrim Polresta Mataram AKP Regi Halili, salah satu saksi kunci kini berada di luar negeri.
“Saksi tersebut sudah tidak lagi berada di pesantren dan kini bekerja di Arab Saudi. Kami belum dapat mengambil keterangannya yang krusial dalam proses ini,” ungkap Regi.
Meski demikian, penyidikan terus berjalan dengan memanfaatkan bukti-bukti dan kesaksian yang tersedia di dalam negeri. Berbeda dengan kasus di Ponpes Nabi Nubu, pihak kepolisian telah menahan tersangka utama.
Namun Komnas HAM menilai langkah itu belum cukup. Dr. Atnike mendesak agar penyidikan diperluas untuk mengungkap kemungkinan adanya pelaku lain atau jejaring perlindungan internal pesantren.
“Kami ingin memastikan tidak ada perlindungan sistematis terhadap pelaku kekerasan di lingkungan pesantren,” ujarnya dengan tegas.
Komnas HAM menekankan pentingnya sinergi antara penegak hukum dan pemerintah daerah dalam menangani kasus ini. Transparansi, akuntabilitas, dan keadilan disebut sebagai fondasi utama untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan berbasis agama.
AKP Regi Halili menyambut baik masukan Komnas HAM dan menyatakan kesiapan institusinya untuk mendukung pengembangan penyidikan lebih lanjut. Langkah Komnas HAM ini menjadi sinyal kuat bahwa dugaan pelanggaran HAM di lingkungan pesantren tidak akan dibiarkan tanpa penanganan serius.
“Kami akan menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM, termasuk memenuhi data yang dibutuhkan dan membuka ruang untuk pengembangan hukum lanjutan,” ujarnya.